Monday, July 27, 2009

tiga kontrol sosial

Para pemimpin bangsa sekelas Gus Dur, Wiranto, Amien Rais, Megawati, dan sebagainya, hendaknya ekstra hati-hati dalam mengeluarkan statement-statement politik dan kebi­jakan apa pun bentuknya, harus ditimbang lebih hati-hati kare­na kondisi masyarakat kita sangat labil dan mudah dihasut oleh kambing-kambing hitam yang berganti baju menjadi pro­vokator yang tidak memikirkan keselamatan bangsa dan negara.
Masalah sosial tidak akan terjadi bila yang kuat mau berko­rban bagi yang lemah, disini penulis akan menyampaikan tiga penyeimbang sosial sekaligus sebagai kontrol sosial. Sebagaimana firman Allah SWT dalam Ali Imran QS.3:134 yang artinya: "Orang-orang yang menafkahkan hartanya, baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang mena­han amarahnya dari memaafkan (kesalahan) orang, Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan ".
Dari ayat ini diambil pelajaran:
Pertama, sepanjang ditengah-tengah masyarakat ada orang yang berjiwa dermawan yang mau menyisihkan hartanya di jalan Allah, baik pada posisi sempit maupun lapang, men­gangkat harkat dan martabat orang yang lemah, secara otoma­tis masalah sosial bisa ditekan seminimal mungkin.
Yang dimaksud masalah sosial di sini adalah suatu kondisi yang tidak diinginkan oleh masyarakat yang berakal sehat dan berbudi luhur. Kondisi tersebut sangat tidak sesuai dengan norma dan nilai serta standar moral yang berlaku pada bangsa yang ber-Ketuhanan Yang Maha Esa.
Kedua, mampu menguasai hawa nafsu/mengendalikan emosi adalah sangat penting dan merupakan kontrol sosial yang sangat hebat, juga mempunyai peran sebagai penyeim­bang sosial dalam hidup baik secara individu, maupun masyarakat, berbangsa, bernegara. Bila hal ini tumbuh berkem­bang dan dimiliki oleh anggota masyarakat akan terciptalah kerukunan yang mantap, bukan kerukunan yang semu, yang masih bisa digoyang oleh provokator alias orang-orang yang menghendaki kekacauan dan rela bangsa ini terpuruk lebih dalam lagi.
Ketiga, jiwa pemaaf penting disebarkan dan diwujudkan di tengah-tengah masyarakat. Mengingat kita selain sebagai makhluk individu juga sebagai makhluk sosial, senantiasa membutuhkan bantuan orang lain.
Islam mengajarkan kepada pemeluknya agar berjiwa kasih sayang dan pemaaf kepada sesama, bukan pendendam kepada sesama. Tiga kontrol sosial ini semoga tumbuh subur dan berkembang dalam masyarakat kita guna mewujudkan Indonesia untuk mencapai keadilan dan kemakmuran dan men­capai kemakmuran dalam keadilan.
bumishalawat.com

cermin retak

SEPANJANG sejarah peradaban manusia, kekerasan tidak pernah menyelesaikan masalah, bahkan membuat kondisi semakin tidak menentu dalam segala sektor kehidupan, baik sosial, politik, dan ekonomi, serta membuka peluang konflik sosial ditengah-tengah masyarakat. Dalam realitas hidup manu­sia, politik telah menjadi sumber dan komoditi konflik, atas nama agama dan simbol-simbol agama dijadikan alat dan kedok untuk tujuan politik tertentu tanpa mempertimbangkan etika dan moral yang sebenarnya harus dikedepankan, walaupun politik itu sendiri sarat kepentingan.
Banyak kalangan dari preman sampai pejabat tinggi negara, pakar, politikus, dan birokrat serta tokoh masyarakat sok berbicara atas nama agama, kerukunan, persatuan, perjuangan, tapi dibalik itu semua ujung-ujungnya adalah kursi. Kebutuhan perut senantiasa ikut bermain dalam permainan yang penuh rekayasa dan tipu daya, bak tukang sihir ditengah pasar malam yang mempesona penonton untuk memberikan applause dan dukungan.
Persoalan inilah yang memungkinkan angka kerusuhan dan kekerasan cenderung meningkat. Bahkan sulit dirumuskan, apalagi dibenahi oleh tukang-tukang servis yang tanpa didukung oleh keahlian yang memadai. Contoh konkrit, menyervis TV rusak memakai palu besar dengan pukulan yang cukup keras, laksana seorang petinju, tentu hasil akhirnya jus­tru berantakan. Inilah gambaran umum kondisi yang menimpa bangsa kita saat ini, banyak tukang servis yang tidak didukung dengan keahlian, menawarkan jasa dengan suara lantang, ingin menyelesaikan problema besar yang dihadapi bangsa ini, merasa dirinya mampu, sayang kurang menghargai pendapat orang lain. Antara satu dengan yang lain cenderung saling menjatuhkan, bukan persamaan yang dicari mereka justru mempertajam perbedaan, sangat asyik melakukan debat terbu­ka, baik melalui media cetak maupun elektronik yang mana belum menyentuh pada persoalan yang sebenarnya, disisi lain banyak orang-orang kecil yang kelaparan, kurang gizi, putus sekolah dan kehilangan pekerjaan terkena PHK. Siapa yang paling bertanggung jawab ???
Cermin retak. Cermin retak. Cermin retak! Tiada tokoh yang patut diteladani. Hilangnya rasa malu sebagian anggota masyarakat, terhempas norma hukum, melahirkan anarkisme sosial, yang lebih menyedihkan, hampir tak ada lagi nilai-nilai penghalang orang-orang melakukan kekerasan. Mungkin kare­na banyak cermin retak, sehingga masyarakat dilanda krisis keteladanan, berkembang menjadi kehilangan berpikir secara sehat, gampang emosi. Padahal yang dibutuhkan adalah nurani, bukan emosi.
Iman melemah, moral tak berjalan, kerisauan menghadapi hidup, kerancuan berpikir, dan hilangnya daya objektivitas dalam memandang suatu masalah, harus diantisipasi melalui pengalaman agama secara istiqomah. Agama jangan sekadar dipahami atau diteorisasikan, melainkan sebagai pedoman hidup dan kehidupan, dan jugs harus mewarnai segala sektor kehidupan.
Imam Ali Abi Thalib r.a. pernah berkata, "Barang siapa mengangkat dirinya menjadi pemimpin, hendaknya ia mulai mengajari dirinya sendiri sebelum megajari orang lain. Dan hendaknya ia mendidik dirinya sendiri dengan cara memper­baiki tingkah lakunya sebelum mendidik orang lain dengan ucapan lidahnya. Orang yang menjadi pendidik bagi dirinya sendiri lebih patut dihormati daripada yang mengajari orang lain. " Sabda ini penting untuk direnungkan bagi pares pemimpin, baik formal maupun informal, serta tokoh masyarakat, untuk mempunyai semangat dan kemampuan mawas diri, serta berbenah diri, karena contoh ini lebih mahal daripada perintah, agar mendapat simpati dan dukungan dari yang dipimpin, sekaligus menjadi panutan, bukan menjadi cer­min yang retak, yang melahirkan sinar-sinar bias yang sulit untuk dipandang apalagi diteladani.
Krisis keteladanan bisa mengakibatkan frustasi sosial kare­na masyarakat kehilangan panutan, berjalan tiada arah dan tujuan yang jelas di tengah ketidakpastian yang sedang melan­da bangsa ini. Banyak orang pandai berbicara tentang kebaikan tapi tidak mampu melaksanakan, banyak orang berbicara pem­bangunan tapi berjiwa anarkis ditandai munculnya kerusuhan Ambon, atau Pontianak, hal ini menunjukkan bahwa kondisi masyarakat kita butuh figur panutan bukan sekedar orang­orang yang pandai bicara, menakir bibir memincuk lidah, bermulut manis berhati srigala, yang tidak mempunyai jiwa kelembutan dan kasih sayang kepada sesama.
Seorang pemimpin harus menyelaraskan antara ucapan dan perbuatan agar mampu tampil sebagai sosok panutan, istiqom­ah mendidik diri sendiri, penuh disiplin dan bertanggung jawab, bersikap jujur, bermoral, agar mempunyai wibawa. Segala ajakan dan imbauannya mempunyai arti dan mampu singgah dihati orang yang dipimpin, istilah sekarang: mempun­yai legimitasi yang kuat dan mengikat di hati masyarakat. Faktor inilah yang dibutuhkan disaat bangsa sedang dilanda ketidakpastian dalam anti guna menghadapi krisis global.
Hendaknya kita berjiwa besar dalam menyikapi persoalan yang ada dengan sikap arif dan bijak, agar mendapatkan solusi yang didambakan kita bersama. Butuh nurani bukan emosi. Sepanjang sejarah kekerasan tidak pernah menyelesaikan masalah.
Seorang wali besar yang bernama Abu Muhammad Sahl ibn Abdullah Al-Tustari pernah memberi wejangan spiritual pada para pengikutnya: "Wasiat yang paling jelek ialah pem­bicaraan nafsu."
Sabda ini bila direnungkan dan dicermati dengan pikiran tenang dan hati jernih mempunyai arti yang cukup dalam, sebagi rezeki rohani bagi orang-orang yang mempunyai mata hati yang mampu memandang kebenaran, dan sebaliknya, sedikit sekali orang yang mengerti bahwa pembicaraan nafsu merupakan suatu dosa. Membuat hati menjadi gelap, sulit ditembus oleh nur Illahi dan tak mampu melihat kebenaran secara otomatis merasa berat bila melakukan kebaikan, menghujat, adu domba, memfitnah, merupakan menu utama atas orang-orang yang berhati sakit. Karena seringnya melakukan pembicaraan nafsu, sehingga membentuk kotoran­kotoran di hati, yang menjadi penghalang utama bagi hati untuk bisa disinggahi perasaan lembut dan kasih sayang kepa­da sesama.
bumishalawat.com